Sabtu, 30 April 2016

Himawari no Yakusoku Eps 2

Prolog :

Di dunia ini, aku bisa melihat seseorang bahagia dan merasakan kebahagiaan itu. Aku merasakan semua yang dirasakan teman-teman ku. Namun, entah mengapa aku tidak bisa mengeluarkan luapan kegembiraan ku.

Kadang jika aku sedih, aku tidak bisa mengeluarkan air mata ku. Bahkan aku tidak bisa berteriak. Sebenarnya, dunia apa kah ini? Apa kah aku bisa membuat kebahagiaan di sini?

-eps 2- Tempat Dimana Keajaiban Terjadi–

Takao langsung melepas sepatunya dan pergi berlari menuju sekumpulan bunga Matahari yang bergerombol. Ia terlihat sangat gembira dengan ini. Tingkahnya jadi seperti anak kecil yang riang gembira.

“Ayo Shin-chan! Kejar aku!!” teriak Takao yang sudah berada hampir di tengah sekumpulan bunga Matahari.

“Hmph.. aku tidak mau melakukan hal melelah kan seperti itu nanodayo...” kata Midorima sambil berbalik arah hendak pergi ke atas lagi.

“Huh?? Itu membuktikan bahwa kau lemah ya?!! Kau itu pemalas dan tidak mau bergerak seperti kuda nil kan??” Takao memanas-manasi.

Baiklah, kata-kata itu membuat Midorima sedikit tersinggung.

“Apa kau bilang Takao?!! Aku bukan pemalas nanodayo!!!”

“Kau tidak mau mengejar berarti kau tidak bisa berlari, karena kau pemalas..” kemudian Takao segera berlari.

“Oiy Tunggu kau Takao!!”

Rupanya usaha Takao untuk memanas-manasi Midorima berhasil. Midorima pun mengejar Takao karena merasa kesal. Menyusuri ladang bunga Matahari yang penuh dengan bunga Matahari. Memang susah berlari di tengah ladang bunga Matahari tanpa merusaknya.

Tanpa sadar, Midorima terbawa suasana sehingga mereka seperti bermain kejar-kejaran. Ia tidak merasakan sedikit pun lelah di dalam ladang itu. Sebaliknya, energinya untuk berlari seperti makin terisi kembali. Tanpa ia sadari juga, ia merasakan hal yang tidak pernah dirasakannya semenjak dulu. Kebahagiaan seperti ini, saat bermain dengan teman mu. Entah mengapa tiba-tiba ia merasakan kebahagiaan disini.

Midorima terus berusaha mengejar Takao sambil menyingkirkan beberapa tangkai bunga Matahari yang tinggi. Ia berusaha sebaik mungkin untuk tidak merusaknya dan karena itu juga ia tertinggal jauh di belakang Takao.

“Oiy Taka...” langkah Midorima terhenti ketika melihat ada sebuah tempat kosong yang di kelilingi bunga Matahari dan beralaskan rumput hijau layaknya karpet rasaksa.

“Bagaimana? Ini tempat ku bersama keluarga ku biasa bersantai. Benar-benar tempat yang pas bukan?”

“Ini?... kau sengaja menggiring ku ke sini ya?”

“Hehehe.. habisnya Shin-chan, dari pada hanya berdiam diri, lebih baik sedikit berlari kan? Tidak apa”

“Sedikit hah? Bagaimana kau bilang sedikit berlari jika kita sudah sejauh ini dari bukit lihat?!! Aku bahkan tidak melihat bukit di sekitar sini!”

“Huh? Kau ini, jangan pikir kan hal yang seperti itu, kau hanya membebani pikiran mu. Cepat berbaring lah dan pikirkan hal-hal positif di atas rumput ini...” kata Takao yang sudah berbaring di atas rumput.

“hah...?” Midorima memang merasa lelah karena sudah berlari. Mau tidak mau ia pun berbaring di atas rumput seperti apa yang dilakukan Takao.

Takao dan Midorima pun merasa kan ketenangan sejenak. Melihat langit yang mulai perlahan memerah karena senja. Angin sore menerpa mereka yang mulai memejamkan mata. Menikmati angin sore yang semilir dibubuhi kehangatan matahari senja. Waktu yang cocok untuk bersantai.

“Ne.. Shin-chan..” Takao memanggil Midorima sambil tetap memejamkan matanya.

“Hah? Ada apa?”

“Apa kau tidak pernah dengar tentang legenda di tempat ini?”

“Legenda? Pasti hal yang bodoh lagi nanodayo”

“Oy Oy.. bukan seperti itu dengar kan dulu...” Takao membuka matanya dan memandang langit. “Konon jika ada seseorang yang bersedih dan pergi ketempat ini seseorang itu akan bahagia.”

“...” Midorima sedikit berpikir dalam kepalanya. Mungkin hal ini juga benar juga jika di tempat ini bisa membuat orang bahagia. Tapi tetap saja ini tidak masuk akal.

“Dan juga.. jika kau berjanji di tempat ini, janji mu pasti akan kau tepati seumur hidup mu...” Takao pun langsung bangun dari berbaringnya. “Jadi..”

“Jadi apa?”

“Apa kau tidak ada sesuatu yang ingin kau janji kan?”

“Aku tidak mau melakukan hal bodoh itu disini nanodayo...” Midorima pun membalikkan badannya ke arah yang berlawanan dengan Takao.

“Baiklah kalau begitu terserah kau... ” Jawaban yang tidak biasa. Biasanya dia pasti merengek atau memaksa Midorima “Kalau aku ingin kau berjanji, jika aku telah tiada nanti, jadikan Shutoku sebagai tim basket terbaik...”

Midorima bangun dari baringannya. Ia langsung menoleh ke Takao sambil sedikit mencerna kata-kata yang diucapkan Takao.

“Oiy, kenapa kau mengatakan hal seolah-olah kau akan mati nanodayo?”

“Huh? Pftthahaha...!”

“Apa yang lucu?! nanodayo”

“Ini pertama kali nya aku melihat Shin-chan sekhawatir itu padaku” kata Takao sambil menyeka air mata yang keluar saat ia tertawa tadi.

“Aku tidak khawatir...”

“Lagi pula aku tiada juga bisa dalam artian lain. aku pindah tempat tinggal, atau aku pindah sekolah ke tempat lain. tapi bukan hanya itu saja.. bisa saja aku tiba-tiba sakit keras sepanjang tahun ini dan...”

“Oiy Takao! Jangan mengatakan hal yang bukan-bukan nanodayo!!” rupanya perkataan yang diucapkan Takao tadi membuat Midorima menjadi geram. Ia memang khawatir.

“Shin-chan?”

“Kau tau jika manusia berkata itu harus menjaga perkataannya, kalau tidak perkataan yang ia ucapkan akan terkabulkan. Sepertinya aku sudah memberitahukan mu soal ini berulang kali nanodayo..” kata  Midorima sambil menepuk-nepuk dahinya.

“Ho? i..iya maaf-maaf hehehe... ngomong-ngomong soal janji ku yang tadi...” Takao menunjukan jari kelingkingnya kepada Midorima. “Kau tetap mau berjanji kan?”

“Hh.. dasar. Aku memang tidak mau melakukan hal yang memalukan seperti ini, tapi apa boleh buat.” Midorima membalas dan melengkungkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Takao. Hal ini membuatnya dan Takao tersenyum entah mengapa.

--

Takao terus mengayuh sepeda beserta gerobak yang membawa Midorima hingga larut. Mereka baru sampai rumah jam tujuh malam. Sekarang mereka sampai di depan rumah Takao. Rumah yang terlihat sepi dengan lampu yang belum dinyalakan. Wajar, karena Takao tinggal sendirian. Ibunya dirawat di rumah sakit semenjak beberapa bulan lalu karena sebuah penyakit yang dideritanya sudah lama.

“Nah sudah sampai, ano.. Shin-chan maaf ya aku hanya bisa mengantarkan mu sampai sini, aku harus cepat-cepat pulang karena lampu rumah ku belum di nyalakan. Lihat saja rumah ku tidak terlihat seperti itu haha..”

“Takao...” reaksi Midorima berubah. “Kau masih saja tinggal sendirian ya?”

“Uhm.. iya, Kau tau kan Ibu ku jatuh sakit saat Winter cup baru dimulai hingga saat ini. Jadi aku tinggal sendirian disini. Kakek dan Nenek sudah menjaganya di rumah sakit jadi mereka menyuruhku untuk tinggal dirumah.”

Setelah itu suasana tenang. Midorima tidak tau harus mengatakan apa. Baik Midorima dan Takao tidak ada yang memulai pembicaraan.

“Baiklah, aku pulang dulu, sampai nanti...”

“Tunggu!”

Takao menghentikan jalannya begitu mendengar panggilan Midorima.

“Ada apa Shin-chan?”

“Apa kan kau tidak keberatan jika aku berkunjung ke rumah mu sebentar?” kata Midorima dengan menggaruk-garuk kepalanya karena gugup.

Takao terdiam. Berusaha untuk mencerna kembali apa yang ia dengar. Ia mengerti apa yang dikatakan Midorima kemudian ia tersenyum.

“Baik...” kata Takao dengan antusiasnya. “Ini pertama kalinya Shin-chan berkunjung ke rumah ku”

“Jangan salah sangka nanodayo.  Aku hanya ingin membalas budi terhadap tindakan mu tadi”

“Huh?”

“Aku sudah kalah Batu gunting kertas dengan mu dan kau tetap mengayuh sepeda untuk ku, aku yakin kau pasti kelelahan jadi... uhm..” Midorima sedikit gugup dan berdehem untuk membuatnya lebih tenang “Aku akan memasakan sesuatu untuk mu...”

“Hah?...pfft... BWAHAHAHA!!!!” lagi-lagi Takao tertawa terbahak-bahak hingga tidak kuat berdiri. Tangannya menggenggam dan memukul-mukul tanah.

“Apa yang lucu nanodayo!!!” wajah Midorima memerah.

“Habisnya... Shin-chan mengatakannya dengan gugup seperti itu hahaha!”

“Ya sudah kalau begitu aku pulang!” Midorima merasa sangat kesal dengan reaksi Takao yang tidak ia harapkan itu.

“Eh.. bercanda!... aku hanya bercanda kok~! hehe”

Takao pun memutar kunci pintu dan membukanya. Di dalam gelap sekali. Ia pun memasuki rumahnya dan bergegas mencari saklar lampu.

“Maaf Shin-chan, aku akan menyalakan lampu dulu ya... tunggu saja di sini..”

Midorima pun menunggu di depan pintu rumah Takao. Tiba-tiba lampu dari rumah menyala. Sekarang suasana lebih nyaman dari pada sebelumnya.

“Nah sudah, silakan masuk”

“Permisi..” Midorima pun memasuki rumah Takao. Melepas sepatunya di dalam. Sedangkan Takao menutup pintunya rapat-rapat agar angin malam tidak masuk. Malam ini memang cukup dingin.

“Kau ingin duduk sebentar? Duduk lah di ruang keluarga di sini, karena di ruang tamu cukup dingin”

Ruang keluarga Takao sangat luas. Ada sebuah sofa yang sangat empuk. Satu televisi di tengah. Buku-buku dibawah meja dan di rak buku. Radio, kipas angin, dan foto diatas meja. Dan juga ada altar ayahnya tentunya yang diletakan di pojok ruangan, lengkap dengan foto, bunga, dan sesajinya.

“Luasnya, tinggal di tempat ini sendirian apa kau tidak kesepian Takao?”

“Yah.. sebenarnya aku tinggal bersama nenek ku jika ia tidak menjaga ibu. Tapi kali ini ia aku suruh pulang saja seusai menjaga ibu, aku tidak ingin merepotkannya. Apalagi ia sudah tua.”

Midorima melihat ada banyak foto di buffet. Foto di saat Takao baru lahir hingga dewasa. Satu yang bisa ia lihat dari foto itu adalah bahwa Takao memang selalu ceria dan tersenyum dari ia kecil, beda jauh dengannya yang selalu cemberut bahkan tersenyum pun jarang.

Midorima mengangkat salah satu foto yang ada disana “Ini foto saat kau diladang bunga matahari itu ya?”

“Oh foto itu? iya, saat ayah ku menyuruh ku untuk memetik salah satu bunga Matahari disana”

“Kau selalu tersenyum seperti itu? aku iri padamu...” Midorima teringat sesuatu dengan keluarganya. Ia tidak pernah bercanda dengan Ibu atau Ayahnya. Bahkan di rumah kerjaannya dengan orangtua hanya marah-marah. Padahal bukan ini yang ia inginkan.

“Shin-chan?”

Midorima tersadar dari lamunannya “ Humm?”

“Kau jadi memasakan sesuatu untuk ku?”

“Hah?”

“Kau bilang kau ingin membalas budi?”

“Baiklah kalau begitu...” Midorima membenarkan kacamatanya “Akan kuberikan masakan terbaik ku”

-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar