Sabtu, 30 April 2016

Himawari no Yakusoku (Kuroko no Basuke's FF) Eps 1

FanFiction ini dibuat sebagai rasa tanda terimakasih kepada  Tadatoshi Fujumaki - Sensei karena telah membuat Anime yang luar biasa menginspirasi saya. ^^ meskipun bukan dalam hal olahraga seperti di dalam Anime. ya, walaupun hampir tidak mungkin FF ini sampai kepada nya. Tapi, saya betul betul berterimakasih kepada Fujimaki - sensei yang telah membuat cerita yang sebegitu bagus nya.
Oke.. tanpa basa-basi lagi. Happy Reading!! ^^

Disebuah acara pemakaman. Seorang anak laki-laki menggandeng tangan Ibunya yang duduk di atas kursi roda, sambil membawa setangkai bunga Matahari. Ayahnya baru saja meninggal dunia. Anak itu terlihat sangat sedih. Pipinya basah karena air matanya sendiri. Air mata menetes namun ia dengan sekuat tenaga menahan suara tangisnya.

-Eps 1- Tempat Rahasia-

“Oiy Takao...”

Panggilan Midorima menyadarkan Takao dari lamunan panjangnya. Ia menoleh kebelakang bangkunya yang sudah jelas di tempati Midorima, Partner basketnya itu.

“Shin-chan?”

“Kau kenapa? Akhir-akhir ini sering melamun?”

Memang benar kata Midorima. Takao akhir-akhir ini sering melamun dibandingkan hari-hari sebelumnya. Bahkan ia juga mulai jarang membuat lelucon dan juga menggoda teman-temannya.

“Aku ya?... ehm... kau itu tipe orang yang ingin sekali mengetahui kepribadian orang lain ya?” tiba-tiba tingkah Takao berubah drastis. Ternyata dia tidak begitu banyak berubah.

“Oiy! Nada bicara mu itu menjijikan nanodayo!!”

“Hihihi!! Maaf..maaf! habisnya jarang-jarang Shin-chan mengkhawatirkan ku seperti ini. Ada apa?”

“Menyebalkan, aku mau pulang saja.”

Dengan jengkelnya Midorima berdiri dari bangkunya. Mengambil tas yang ada di samping mejanya dan menyangkutkan ke bahunya dan tidak lupa mengambil lucky itemnya berupa jam gantung, untuk hari ini. Kemudian ia bergegas pergi meninggalkan Takao.

“Oiy Shin-chan! Tunggu!” Takao langsung buru-buru mengejar Midorima.

--

Begitu sampai di tempat parkir sepeda. Tempat Takao biasanya memarkirkan gerobak dan sepedanya. Dan seperti biasa Takao dan Midorima melakukan batu-gunting-kertas sebelum memilih siapa diantara mereka yang akan menarik gerobaknya. Sepertinya sudah bisa ditentukan siapa yang menang.

“Baiklah Shin-chan, aku tidak akan kalah dari mu! Lihat saja pembalasan ku dari bulan-bulan sebelumnya!” sekarang Takao berlagak seperti jenderal perang yang bersiap melawan penjajah.

“Hmph... aku tidak tau apa yang kau katakan nanodayo, pemenangnya sudah pasti kan?” kata Midorima dengan membenarkan kacamatanya.

Tentu saja Midorima bisa tenang seperti ini. Dia selalu menang dan menjadi orang yang bisa santai-santai di atas gerobak sambil membawa lucky itemnya kemana-mana.

“Baiklah bersiap! Jan-ken-pon!!”

Akhirnya mereka melakukannya. Takao yang tadinya menutup matanya perlahan membukanya kembali. Betapa terkejutnya ia ketika melihat tangan Midorima yang membentuk gunting dan dirinya membentuk batu. Itu berarti Takao yang menang.

“Tunggu.. aku?” Takao masih tidak percaya ini.

“Baiklah, aku akan mengayuhnya. Lagi pula aku butuh olahraga sejenak..”

“Tunggu-tunggu!! Shin-chan! Aku rasa aku membuat kesalahan... hehehe”

“Kesalahan?”

“Jari ku membentuk batu? Tidak aku salah, pikiran ku mengatakan bahwa jari ku seharusnya membentuk kertas tadi... jadi kau yang menang” entah mengapa Takao mengatakan hal ini.

Midorima terdiam sambil berpikir ‘Takao, seberapa bodoh kah dirimu? Jelas-jelas kau yang menang kali ini-nanodayo’.

“Tidak, aku yang kalah, aku yang harus menariknya nanodayo”

“Eh..!! Shin-chan tunggu!! Jika kau yang mengayuh...” Takao langsung menghadang Midorima “Jika kau yang mengayuh, aku tidak akan pernah mengayuh gerobak itu lagi!”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Sepertinya kau lupa akan janji kita kemarin?”
--

Midorima mengingat-ingat lagi apa yang terjadi kemarin. Sebelum ia bersiap menaiki gerobak, Takao sempat berkata padanya dengan kesal.

“Lagi-lagi kau!”

“Itu kan wajar nanodayo”

“Baiklah kalau begitu...” Takao menunjuk wajah Midorima “berjanjilah padaku jika kau kalah, kau akan mengayuh gerobak ini selamanya!!” kata Takao dengan penuh semangat.

“Baik...” kata Midorima yang sudah terduduk dalam gerobak bersama lucky itemnya.

--

“Lihat? Karena itu aku tidak mau kau melakukannya.. hehe!...” Takao tertawa.

Midorima melihat wajah Takao yang tersenyum. Sambil berpikir, entah senyuman apa ini. Senyuman polos atau bodoh? Namun sepertinya tidak ada bedanya. Takao itu memang bodoh, dasar Bakao.

“Huh... baiklah...” kata Midorima pasrah sambil menaiki gerobak.

“Yey! Akhirnya aku jadi yang mengayuh!” lagi-lagi Takao dengan senyuman polosnya.

--

Takao mengayuh sepeda dan menarik gerobak dengan sekuat tenaganya. Tidak jarang ia berhenti sejenak dan beristirahat di pinggir jalan. Bahkan keringat mengucur deras dari dahinya. Cuaca panas makin membuat keringatnya mengucur.

“Kau yakin tidak apa Takao?” Midorima sedikit merasa khawatir dengan Takao. Walaupun ia tetap saja menanyakan hal itu dengan cueknya.

“Aku tidak apa kok Shin-chan. Lagi pula, kau jarang sekali menanyakan hal ini. Apa kau mulai menyukai ku?” lagi-lagi Takao dengan pernyataan ngawurnya itu.

“Hhmph, itu pernyataan bodoh nanodayo. Aku hanya tidak tenang saat aku kalah di batu-gunting-kertas tadi”

“Benarkah? Dasar tsundere... hihihi!”

“Oiy!”

Kali ini Takao mengayuh sepedanya lebih kencang dan terlihat di pinggir jalan sudah tidak terlihat rumah lagi. Kali ini padang rumput yang terlihat. Jalan yang tidak asing bagi Midorima meskipun ia jarang melalui jalan ini. Namun Midorima tau betul kemana jalan ini menuju.

“Oiy, Takao. Kau akan pergi kesana lagi ya?”

“He? Kau tau, maaf ya aku ingin bertemu sebentar dengan ‘nya’”

“Tidak apa-apa, aku sempat melihat mu membawa dupa di tas mu tadi”

“Hmm.. aku sudah lama sekali tidak berbicara dengan ‘nya’” kata Takao dengan tersenyum ringan. Entah mengapa ia jadi tambah semangat dan mengayuh kencang sepedanya. Sedangkan Midorima, ia terdiam dan tidak mengeluarkan ekspresi apa pun dari wajahnya.

--

Mereka sampai di bawah kaki bukit dan tertulis pemakaman umum di gerbang masuknya. Takao segera turun dari sepedanya dan di susul oleh Midorima. Ia mengeluarkan dupa dan korek api dari tasnya.

“Baiklah ayo kita pergi Shin-chan” ajak Takao dengan senyumannya. Midorima membalas dengan wajah tanpa ekspresinya.

“A.. iya..”

Takao langsung saja membuka pagar pemakaman yang memang tidak di kunci. Langsung saja ia mencari altar keluarga Takao. Pemakaman yang sepi, angin berhembus tidak terlalu kencang namun juga tidak terlalu pelan. Langit yang biru hampir tidak ada awan satu pun. Begitulah suasana hari ini.

Takao menyalakan dupanya dan menaruhnya di tempat dupa. Ia mulai berdoa di depan altar yang terdapat setangkai bunga Matahari di depannya.

“Ayah...” Takao perlahan membuka matanya “Aku sudah menepati janji Ayah. Aku sudah menjaga Ibu dengan baik di sini. Membuatnya makanan untuknya. Hmm.. meskipun makanan ku tidak begitu enak, tapi aku senang ia menyukainya.” Takao tersenyum dengan hangatnya. Bahkan Midorima seperti merasa jika seluruh dunia berhenti ketika Takao tersenyum seperti itu.

“O iya, Ayah, perkenalkan ini Midorima Shintaro. Teman ku yang biasa aku panggil Shin-chan itu” Takao pun menoleh ke Midorima.

“Apa?”

“Jangan katakan apa pada ku. Ayo bilang hai kepada ayah ku dan perkenalkan diri mu..”

Midorima pun hanya bisa pasrah mengikuti kata Takao. Dengan gugup ia mulai berbicara.

“Aku Midorima Shintaro, pemain klub bola basket Shutoku. Seperti yang anda lihat aku selalu saja yang jadi korban jahil anak mu ini. Nanodayo ”

“Oiy! Shin-chan! Ti...tidak ayah dia bergurau... aku tidak melakukan apa pun kok! Hehehe..”  Takao jadi gelagapan ketika mendengar kalimat itu dari Midorima.

Sedang Midorima hanya bisa tersenyum dan menahan tawanya melihat tingkah gelagapan Takao. Sepertinya ia sengaja melakukan ini.

--

Setelah beberapa menit berziarah, mereka pun kembali menuju bawah bukit. Takao mulai menaiki sepedanya dan Midorima menaiki gerobaknya. Mereka memulai perjalanannya kembali.

“Ne Shin-chan, boleh kah aku mengantarkan mu ke suatu tempat?”

“Tempat?”

“Iya, sebuah ladang bunga Matahari yang letaknya tidak jauh dari balik bukit ini. Kau akan menyukainya” kata Takao penuh semangat.

“Oh... terserah lah. Yang penting cepat pulang agar aku bisa beristirahat.”

“Kerjaan mu cuman belajar dan tidur ya dirumah? Kasihannya..”

“Aku tidak seperti mu yang kerjaannya hanya jalan-jalan Takao.”

“Lebih baik jalan-jalan dari pada hanya berdiam diri di rumah kan?”

“Terserah lah...”

Takao pun mempercepat kayuhan sepedanya. Hingga Midorima hampir saja terlempar dari gerobaknya.

“Oiy! Takao!! Hati-hati!”

“Ho? Maaf. Tadi kau bilang cepat, agar kita bisa pulang kan?”

“Dasar...” dengan kesalnya Midorima duduk kembali.

--

Setelah hampir 15 menit mengitari bukit hingga belakangnya, Takao menghentikan sepedanya. Kemudian ia turun dari sepeda. Mereka sudah sampai.

“Kita sudah sampai?”

“Iya. Ini dia. Ladang bunga Matahari”

“Aku tidak melihat ada bunga Matahari. Tidak yang kulihat hanya hutan.”

Ya benar. Bukannya ladang bunga Matahari yang mereka lihat, justru hanya pohon yang lebat di pinggir jalan.

“Ha? Kau harus melihat ini.” Takao langsung menarik tangan Midorima dan berlari memasuki hutan.

“Oiy Takao!” Midorima dengan berat hanya bisa mengikuti Takao.

Takao pun menyeret Midorima hingga mereka berada di jalan yang turun di tengah hutan. Makin lama mereka makin masuk di dalam hutan. Makin lama juga suasana makin gelap karena pepohonan.

“Oiy Takao! Apa kau yakin disini tempatnya??”

Namun Takao tidak menjawabnya.

Tiba-tiba Midorima melihat sedikit ladang yang terang dari balik hutan di depan mereka. Takao pun menghentikan jalannya dan perlahan ia melangkah maju dan menyingkirkan beberapa rumput liar yang mengganggu perjalanan mereka. Perlahan mulai terlihat sebuah ladang bunga Matahari yang luas. Semua bunga Matahari terlihat mekar dan di sinari cahaya senja yang indah. Semua bunga itu mengikuti sinar Matahari yang sekarang sudah condong ke arah barat.

“Kita sampai” kata Takao sambil perlahan melepaskan tangannya dari tangan Midorima. Ia tersenyum dengan lembutnya.

“Ini?...” Midorima terksima melihat pemandangan indah ini. Matanya membelalak tidak percaya dengan pemandangan indah ini. “Indah...”

--bersambung--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar